Jadi, beberapa hari yang lalu, aku diminta buat bikin wawancara. Bukan cuma aku, sih, tapi semua teman-teman sekelasku. Kami disuruh wawancara tentang wirausaha. Nanti harus dibuat laporan dan harus ada bukti fotonya. Waduh, ini yang bikin ribet.
Ya, sudah, mau bagaimana lagi. Kan, ini tugas sekolah. Jadi, harus aku kerjakan. Tapi aku bingung harus wawancara sama penjual siapa. Makanya, aku minta bantuan ayah-bunda untuk memikirkan penjual siapa yang harus aku wawancarai.
Pertamanya, aku mau wawancara penjual pentol Carolus di dekat rumahku. Tapi sayangnya, lupa difoto saat aku wawancara. Nah, ini bikin ribet. Masa harus kembali lagi ke penjualnya, sih?
Kemudian, aku coba buat wawancara ke tukang jualan roti bakpao. Sayangnya, handphone Bunda mati. Akhirnya aku yang jadi bingung, harus wawancarai siapa lagi. Sudah dua orang yang aku wawancarai, terus mau siapa lagi?
Di situasi yang membingungkan ini, Ayah memintaku mewawancarai penjual es degan yang biasa Bunda beli tiap Rabu.
Awalnya aku menolak, tapi mau bagaimana lagi. Jadi, karena hari itu hari Kamis, dan penjual es degannya ada, ya, sudah, aku wawancara saja.
Untung kali itu, tidak ada masalah. Jadi sehabis wawancara, aku langsung merangkai kata untuk dijadikan artikel laporan. Memang butuh waktu lama, tapi aku berusaha supaya laporan cepat selesai.
Dari hasil wawancara penjual es degannya, aku dapat menarik kesimpulan bahwa kita tetap harus berusaha walau kita hanya berpenghasilan sedikit. Seperti Pak Cadar, si penjual es degan, yang hanya Rp100.000 penghasilannya per hari, namun dia tetap berusaha.
Buat aku, punya usaha itu tidak ada masalah. Yang jadi masalah itu ketika kita sudah menjalankan usahanya, tapi malah tidak bertanggung jawab. Akibatnya bisa macam-macam, mulai dari kehabisan uang modal, tidak ada pembeli, dan lain-lain. Selama kita masih bertanggung jawab, ya, tidak akan ada masalah.
